UPAYA MENINGKATKAN
KEMAMPUAN SISWA KELAS IV UNTUK MELAKUKAN
PENJUMLAHAN BILANGAN PECAHAN SOAL CERITA
MELALUI MODEL
PEMECAHAN MASALAH
DI SD ISLAM AL-MADANIYAH JARO
SKRIPSI
OLEH
S Y A H R A N I
NIM A1H111584

UNIVERSITAS
LAMBUNG MANGKURAT
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM SARJANA
(S1) KEPENDIDIKAN BAGI GURU DALAM JABATAN
PENGAKUAN
PENGALAMAN KERJA DAN HASIL BELAJAR (PPKHB)
BANJARMASIN
OKTOBER 2012

UPAYA
MENINGKATKAN KEMAMPUAN SISWA KELAS IV
UNTUK MELAKUKAN PENJUMLAHAN BILANGAN PECAHAN SOAL CERITA
MELALUI MODEL
PEMECAHAN MASALAH
DI SD ISLAM AL-MADANIYAH JARO
SKRIPSI
Diajukan Kepada
Universitas
Lambung Mangkurat
Untuk Memenuhi
Salah Satu Persyaratan
Dalam
Menyelesaikan Program Sarjana (S1)
Kependidikan
Bagi Guru dalam Jabatan
Pengakuan
Pengalaman Kerja dan Hasil Belajar
(PPKHB)
Oleh
Syahrani
NIM A1H111584
UNIVERSITAS
LAMBUNG MANGKURAT
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM SARJANA
(S1) KEPENDIDIKAN BAGI GURU DALAM JABATAN
PENGAKUAN
PENGALAMAN KERJA DAN HASIL BELAJAR (PPKHB)
BANJARMASIN
OKTOBER 2012
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Pendidikan adalah investasi jangka
panjang yang tidak ternilai harganya. Pendidikan juga memegang peranan penting
dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu
berkompetensi dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk itu
upaya peningkatan mutu pendidikan perlu dilakukan secara menyeluruh dari
jenjang pendidikan dasar, menengah maupun pendidikan tinggi yang diberikan oleh
tenaga pendidik. (Sumadi, 2009:1)
Pendidikan dasar atau yang biasa kita
sebut SD adalah pendidikan umum yang merupakan suatu proses pengembangan
kemampuan yang paling mendasar untuk siswa, dimana siswa belajar secara aktif
karena adanya dorongan dalam diri dan adanya suasana yang memberikan kemudahan
bagi perkembangan dirinya secara optimal. Di SD siswa diajarkan beberapa mata
pelajaran, salah satunya adalah Matematika. (Sisdiknas, 2003:25)
Matematika merupakan salah satu mata
pelajaran utama yang ada di Sekolah Dasar, karena Matematika merupakan mata
pelajaran yang diujikan secara Nasional dan sangat dibutuhkan dalam kehidupan
sehari-hari. Mata pelajaran Matematika
ini
sudah diberikan sejak dari tingkat
Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi. Dalam pembelajaran Matematika di sekolah, banyak guru yang
mengeluhkan lemahnya kemampuan siswa dalam memahami
dan menerapkan konsep matematika. Ini sesuai dengan
pernyataan Wardhani,(2004:2) yang menyatakan bahwa sebagian anak SD menganggap
Matematika merupakan mata pelajaran yang sulit dibandingkan dengan mata
pelajaran lain terutama dalam memahami konsep Matematika.
Belajar matematika memerlukan keterampilan dari seorang guru agar siswa
mudah memahami materi yang diberikan. Guru di Sekolah Dasar merupakan ujung tombak yang dapat
menentukan kemampuan siswa dalam mempelajari Matematika. Jika guru
kurang menguasai strategi mengajar, siswa akan sulit menerima materi pelajaran dengan sempurna. Maka
guru dituntut untuk selalu mengadakan inovasi dan berkreasi dalam melaksanakan
pembelajaran sehingga kemampuan dan hasil
belajar yang diperoleh siswa lebih memuaskan (Deby, 2010).
Kenyataan yang ada di
SD Islam Al-Madaniyah Jaro adalah ketidakmampuan siswa kelas IV dalam memahami
bentuk pecahan dan menyelesaikan soal pecahan, apalagi yang berbentuk soal
cerita. Dari berbagai hasil penelitian yang diungkap oleh Rudnitsky, Etheredge,
Freeman dan Gilbert ( Nurhadi, 2007:3) menjelaskan bahwa soal cerita dalam
Matematika masih merupakan masalah sulit bagi siswa. Faktor kesulitan terletak
pada struktur Matematika dan bahasa. Sedangkan menurut Hudoyo (Nurhadi, 2007:3)
juga menyatakan bahwa soal yang berkaitan dengan bilangan tidak begitu
menyulitkan siswa sekolah dasar, akan tetapi soal-soal yang menggunakan kalimat
sangat menyulitkan siswa yang berkemampuan kurang.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang
saya lakukan dengan Bapak Syahriadi, S.Pd yang pernah
menjadi wali kelas IV pada tahun ajaran 2011/2012 menyatakan bahwa siswa kelas
IV belum mampu mencapai KKM yang telah ditetapkan yaitu dengan nilai minimal 60
dan nilai maksimal 100. Karena ketidakmampuan siswa mencapai standar nilai 60,
sehingga pada tahun ajaran 2012/2013 sekarang KKM untuk mata pelajaran
matematika nilainya menjadi 54. Dengan kriteria ketuntasan ini, hanya sekitar
10 dari 25 orang siswa yang mampu mencapai nilai di atas 54. Dan pada tahun
ajaran 2012/2013 ini saya sendiri yang menjadi wali kelas IV SD Islam
Al-Madaniyah Jaro, sehingga hal ini sangat membantu saya dalam melakukan
penelitian tindakan kelas.
Hasil
lain yang diperoleh dari wawancara dengan guru tersebut adalah rendahnya hasil
belajar matematika siswa kelas IV diperkirakan penyebabnya ada berbagai faktor diantaranya faktor orang
tua,guru dan siswa. Faktor orang tua yaitu ketika diberikan PR kebanyakan siswa
tidak mampu mengerjakannya karena orang tua siswa yang tidak mendukung. Faktor
guru yaitu tidak menggunakan media yang konkret dan menarik, guru masih menerapkan pembelajaran yang bersifat konvensional yang pada
tahap pelaksanaan pembelajarannya dimulai dari menjelaskan materi, memberi
contoh dan dilanjutkan dengan latihan soal, sehingga pembelajaran cenderung
didominasi oleh guru. Siswa kurang diberikan kesempatan untuk memikirkan dan
menemukan konsep sendiri. Hal ini mengakibatkan konsep yang dipelajari siswa
cenderung tidak bertahan lama atau mudah
hilang bahkan kadang-kadang siswa tidak mengerti atau tidak memahami
konsep yang sedang dipelajari. Dominasi guru menyebabkan siswa menjadi pasif,
karena siswa kurang dapat mengemukakan ide-ide dan pendapat yang dimilikinya. Dan faktor dari
siswa yaitu kurangnya minat dari siswa untuk belajar serius, kebiasaan siswa
yang kurang baik seperti selalu membuat keributan, berbicara dengan temannya
dan susah diatur, siswa juga masih enggan untuk bertanya kepada guru
atau bertanya kepada temannya walaupun tidak bisa memecahkan masalah yang
diberikan sehingga kurang terjadi komunikasi antara siswa dengan siswa maupun
siswa dengan guru. Dalam menyelesaikan
soal-soal atau masalah matematika, siswa jarang diminta untuk mengungkapkan
alasannya dan menjelaskan secara lisan atau tertulis mengapa mereka memperoleh
jawaban tersebut sehingga terjadi kesalahan konsep pada siswa itu sendiri serta
siswa kurang terbiasa menyimpulkan
materi yang telah dipelajari secara sistematis.
Tahap perkembangan anak usia SD umumnya
berada pada tahap operasional konkret. Itu berarti pembelajaran Matematika di
kelas hendaknya selalu konkret dan melibatkan pengalaman-pengalaman fisik anak,
agar anak mendapat gambaran yang benar-benar nyata tentang konsep/materi yang
mereka pelajari. (Depdiknas, 2004)
Bila permasalahan ini terus dibiarkan tanpa ada
jalan keluarnya, maka akan berdampak buruk bagi siswa. Untuk mengatasi masalah
di atas maka perlu suatu alternatif yaitu dengan cara menggunakan model
pemecahan masalah. Karena apabila kita ingin anak didik kita mampu dan berhasil
dalam belajar maka yang perlu diperhatikan adalah model atau bentuk pengajaran
yang akan digunakan ketika mengajar. Model yang diterapkan dalam proses
pembelajaran dapat terlaksana dengan baik jika materi yang akan diajarkan
kepada siswa dirancang terlebih dahulu. Dan sebagai pendukung model maka
digunakanlah media dalam pembelajaran dengan tidak lupa memperhatikan metode
dan strategi yang digunakan dalam proses kegiatan belajar mengajar.
Model
pembelajaran pemecahan masalah menekankan pada terselesaikannya suatu masalah
secara menalar. Proses ini berlangsung secara bertahap, mulai dari menerima
stimulus dari lingkungan sampai pada memberi respon yang tepat terhadap masalah
yang ada. Dalam pembelajaran Matematika, pembelajaran dengan
pemecahan masalah berarti guru menyajikan materi pelajaran dengan mengarahkan
siswa kepada pemanfaatan strategi pemecahan masalah dalam memahami materi
pelajaran dan menyelesaikan soal-soalnya. Kebanyakan guru sekarang hanya
menjelaskan langkah-langkah menyelesaikan masalah tanpa siswa tahu bentuk
konkret dari masalah tersebut. Sehingga siswa mengalami kesulitan jika
diberikan soal Matematika berupa soal cerita. Melalui model pemecahan masalah
ini akan dapat melatih siswa untuk berpikir kritis dan analitis. Oleh karena
itu, hendaknya guru memberikan masalah yang berkaitan dengan kehidupan
sehari-hari yang dialami siswa.
Hasil penelitian
Syahrawardi (2011:52) pada mata pelajaran Matematika materi Soal Cerita KPK
dengan menggunakan model pemecahan masalah menunjukkan adanya peningkatan hasil
belajar siswa.
Berdasarkan uraian di
atas peneliti tertarik untuk
melaksanakan penelitian yang berjudul “ Upaya Meningkatkan Kemampuan Siswa Kelas IV Untuk Melakukan Penjumlahan Bilangan Pecahan Soal Cerita Melalui Model Pemecahan Masalah di SD Islam
Al-Madaniyah Jaro “.
B.
Ruang
Lingkup Penelitian
1. Penelitian
ini dilakukan pada siswa kelas IV SD Islam Al-Madaniyah Jaro Kabupaten Tabalong
pada konsep penjumlahan bilangan pecahan berpenyebut tidak sama dalam bentuk
soal biasa dan soal cerita (siklus I dan II) semester I tahun pelajaran
2012/2013.
2. Aspek
yang diamati adalah peningkatan kemampuan siswa dalam melakukan penjumlahan
bilangan pecahan.
3. Model
yang digunakan adalah Model Pemecahan Masalah.
C.
Rumusan
Masalah
1. Apakah
terjadi peningkatan aktivitas guru melalui model pemecahan masalah dalam
pembelajaran matematika materi penjumlahan bilangan pecahan soal cerita pada
siswa kelas IV SD Islam Al-Madaniyah Jaro?
2. Apakah
terjadi peningkatan aktivitas siswa dalam pembelajaran matematika materi
penjumlahan bilangan pecahan soal cerita dengan menggunakan model pemecahan
masalah di kelas IV SD Islam
Al-Madaniyah Jaro?
3. Apakah
penerapan model pemecahan masalah dapat meningkatkan hasil belajar matematika
materi penjumlahan bilangan pecahan soal cerita pada siswa kelas IV SD Islam
Al-Madaniyah Jaro?
D.
Tujuan
Penelitian
1. Mengetahui
peningkatan aktivitas guru melalui model pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika
materi penjumlahan bilangan pecahan soal cerita pada siswa kelas IV SD Islam
Al-Madaniyah Jaro.
2. Mengetahui
peningkatan aktivitas siswa dalam pembelajaran matematika materi penjumlahan
bilangan pecahan soal cerita dengan menggunakan model pemecahan masalah di
kelas IV SD Islam Al-Madaniyah Jaro.
3. Mengetahui
penerapan model pemecahan masalah dapat meningkatkan hasil belajar matematika
materi penjumlahan bilangan pecahan soal cerita pada siswa kelas IV SD Islam
Al-Madaniyah Jaro.
E.
Manfaat
Hasil Penelitian
1. Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan
dapat menunjang terhadap perkembangan teori dan konsep belajar umumnya serta
teori dan konsep belajar Matematika khususnya.
2. Praktis
a. Siswa
SD Islam
Agar
siswa mampu menyelesaikan masalah Matematika berupa soal cerita materi
penjumlahan bilangan pecahan . dengan ini siswa menjadi terbiasa berpikir
kritis, analitis, sistematis dan logis.
b. Guru
SD Islam
Akan
menjadi termotivasi untuk selalu dapat melakukan perubahan dalam proses
pembelajaran dan sebagai upaya meningkatkan kemampuan siswa dalam belajar.
c. Sekolah
Dasar Islam Al-Madaniyah
Sebagai
masukan yang baik dalam rangka perbaikan pembelajaran di sekolah umumnya dan di
kelas khususnya, serta dapat bertindak lebih jeli terhadap perkembangan
pembelajaran bagi siswa.
d. Dinas
Pendidikan Kabupaten Tabalong
Sebagai
bahan pembelajaran tentang problematika yang dihadapi sekolah dalam
melaksanakan kegiatan belajar mengajar, sehingga mampu untuk memberikan solusi
yang baik dalam menghadapi hal tersebut.
e. FKIP
UNLAM
Sebagai
bahan dan materi untuk arsip fakultas ataupun koleksi perpustakaan, sehingga
dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi mahasiswa yang lain.
F.
Defenisi
Operasional
1. Kemampuan
adalah kesanggupan, kecakapan dan kekuatan.
2. Bilangan
Pecahan adalah sebagai bagian dari sesuatu yang utuh. Dalam ilustrasi gambar,
bagian yang dimaksud adalah bagian yang diperhatikan,yang biasanya ditandai
dengan arsiran. Bagian inilah yang dinamakan pembilang. Adapun bagian yang utuh
adalah bagian yang dianggap sebagai satuan, dan dinamakan penyebut.
3. Pemecahan
Masalah adalah salah satu model pembelajaran melalui proses yang ditempuh oleh
seseorang untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya sampai masalah itu tidak
lagi menjadi masalah baginya
BAB
II
KAJIAN
PUSTAKA
A.
Kemampuan
Siswa
Kemampuan dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai tingkat
kesanggupan siswa dalam memahami dan melakukan penjumlahan bilangan pecahan,
khusunya pada soal cerita. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001:707)
kemampuan diartikan sebagai kesanggupan, kecakapan dan kekuatan.
Benyamin S. Bloom dalam Mohamad ali
(1984:32) membagi tiga jenis bidang kemampuan, yaitu :
1. Bidang
kemampuan pengetahuan (domein kognitif)
2. Bidang
kemampuan sikap (domein afektif)
3. Bidang
kemampuan keterampilan (domein psikomotor)
Kemampuan kognitif dan psikomotor mempunyai hubungan yang saling menentukan dalam mencapai
tujuan belajar. Domein kognitif
mencakup tujuan yang berhubungan ingatan, pengetahuan dan kemampuan
intelektual, sedangkan domein psikomotor
mencakup tujuan dengan kemampuan gerak. Domein
afektif mencakup tujuan-tujuan yang berhubungan dengan sikap, nilai dan
perasaan.
B.
Pembelajaran
Matematika
Pembelajaran Matematika adalah proses
pemberian pengalaman belajar kepada peserta didik melalui serangkaian kegiatan
yang terencana sehingga peserta didik memperoleh kompetensi tentang bahan
matematika yang dipelajari. Salah satu komponen yang menentukan ketercapaian
kompetensi adalah penggunaan strategi pembelajaran matematika yang sesuai
dengan (1) topik yang sedang dibicarakan,
(2) tingkat perkembangan intelektual peserta didik, (3) prinsip dan
teori belajar, (4) keterlibatan
aktif peserta didik, (5) keterkaitan dengan kehidupan peserta didik
sehari-hari, dan (6) pengembangan dan pemahaman penalaran matematis. (Muhsetyo,
2008:1.26)
Peraturan
Mendiknas No. 24 tahun 2006, menyatakan bahwa dalam pembelajaran matematika
hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem), sehingga secara
bertahap peserta didik dibimbing untuk menguasai konsep matematika (Depdiknas,
2006).
Tujuan pelajaran matematika di sekolah dasar adalah
agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
1.
Memahami
konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan
konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan
masalah.
2.
Menggunakan
penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat
generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
3.
Memecahkan
masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika,
menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
4.
Mengkomunikasikan
gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas
keadaan atau masalah.
5.
Memiliki sikap
menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu,
perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya
diri dalam pemecahan masalah. (Arinil, 2011:online)
Mengajar matematika diperlukan teori
yang digunakan untuk membuat keputusan dikelas dan sebagai dasar mengobservasi
tingkah laku anak didik dalam belajar (Depdiknas, 2007: 4). Kemampuan untuk
mengambil keputusan secara tepat dan cepat, dan kemampuan untuk mengobservasi tingkah
laku siswa merupakan factor yang dapat mempengaruhi guru dalam menentukan
pendekatan pembelajran matematika yang tepat, sehingga pembelajaran menjadi
efektif, bermakna dan menyenangkan.
Pengembangan pembelajaran matematika
dapat diterapkan berdasarkan beberapa teori belajar, yaitu:
1. Teori
Pembelajaran Piaget
Menurut
Piaget, dalam belajar struktur kognitif yang dimiliki seseorang terjadi karena
proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses mendapatkan informasi
dan pengalaman baru yang langsung menyatu dengan struktur mental yang sudah
dimiliki seseorang. Adapun akomodasi adalah proses menstruktur kembali mental
sebagai akibat adanya informasi dan pengalaman baru. Karena anak seumur 6/7 –
12 tahun berada pada tahap operasi konkret maka yang perlu diperhatikan adalah
pembelajaran yang didasarkan pada benda-benda konkret agar mempermudah anak
didik dalam memahami konsep-konsep matematika. (Depdiknas, 2007:4)
2. Teori
Pembelajaran Bruner
Menurut
Bruner, belajar matematika adalah belajar tentang konsep-konsep dan
struktur-struktur matematika yang terdapat di dalam materi yang dipelajari
serta mencari hubungan-hubungan antra konsep-konsep dan struktur-struktur
matematika. Dalam belajar, Bruner hamper selalu memulai dengan memusatkan
manipulasi material. Anak didik harus menemukan keteraturan dengan cara
pertama-tama memanipulasi material yang sudah dimiliki anak didik. Berarti anak
didik dalam belajar harus terlibat aktif mentalnya yang dapat diperlihatkan
dari keaktifan fisiknya. (Depdiknas, 2007:5)
3. Teori
Pembelajaran Brownell
Menurut
Brownell, pada hakikatnya belajar merupakan suatu proses yang bermakna, dan
belajar matematika harus merupakan belajar bermakna dan pengertia. Dalam
pembelajaran matematika SD, Brownell mengemukakan teori makna (meaning theory). Menurut teori makna,
matematika adalah suatu sistem dari konsep-konsep, prinsip-prinsip yang dapat
dimengerti. Latihan-latihan dan tes bagi anak didik bukan untuk mengukur
kemampuan mekanik dalam berhitung, tetapi untuk mengungkapkan kemampuan intelegensi
anak dalam memahami bilangan dan menghadapi situasi aritmetika, baik dari segi
matematika maupun praktis. (Depdiknas, 2007:12)
4. Teori
Pembelajaran Skemp
Menurut
Skemp, anak belajar matematika melalui dua tahap, yaitu konkret dan abstrak.
Pada tahap konkret, anak memanipulasi benda-benda konkret untuk dapat
menghayati ide-ide abstrak. Pengalaman awal berinteraksi dengan benda konkret
ini akan membentuk dasar bagi belajar selanjutnya yaitu pada tahap abstrak.
Agar belajar menjadi berguna bagi seorang anak sifat-sifat umum dari pengalaman
anak harus dipadukan untuk membentuk suatu struktur konseptual atau suatu
skema. (Depdiknas, 2007:11)
5. Teori
Pembelajaran Dienes
Perkembangan
konsep matematika menurut Dienes dapat dicapai melalui pola berkelanjutan, yang
setiap seri dalam rangkaian kegiatan belajarnya berjalan dari yang konkret ke
simbolik. Tahap belajar adalah interaksi yang direncanakan antara satu segmen
struktur pengetahuan dan belajar aktif yang dilakukan melalui media matematika
yang didesain secara khusus. Menurut Dienes, permainan matematika sangat
penting sebab operasi matematika dalam permainan tersebut manunjukkan aturan
secara konkret dan lebih membimbing serta menajamkan pengertian matematika pada
anak didik. (Depdiknas, 2007:8)
6. Teori
Pembelajaran Skinner
Skinner
menyatakan bahwa ganjaran atau penguatan mempunyai peranan yang amat penting
dalam proses belajar. Ganjaran merupakan proses yang sifatnya menggembirakan
dan merupakan tingkah laku yang sifatnya subjektif, sedangkan penguatan
merupakan sesuatu yang mengakibatkan meningkatnya kemungkinan suatu respon daan
lebih mengarah kepada hal-hal yang sifatnya dapat diamati dan diukur. Pada
pembelajaran matematika baik penguatan positif maupun ganjaran sangat
diperlukan anak didik. Keduanya merupakan motivasi positif dalam belajar
matematika. (Depdiknas, 2007:13)
7. Teori
Pembelajaran Thorndike
Thorndike (1874-1949), mengemukakan
beberapa hokum belajar yang dikenal dengan sebutan “Law of Effect”. Menurut hukum ini belajar akan lebih berhasil bila
respon siswa terhadap suatu stimulus segera diikuti dengan rasa senang atau
kepuasan. Teori pembelajaran stimulus-respon yang dikemukakan oleh Thorndike
ini menyatakan bahwa pada hakekatnya belajar merupakan proses pembentukan
hubungan antara stimulus dan respon. (Depdiknas, 2007:14)
Berdasarkan dari
pembahasan teori-teori pembelajaran tersebut di atas, ternyata beberapa ahli
mempunyai kesamaan pendapat, yaitu anak dalam belajar matematika akan dapat
memahami jika dibantu dengan manipulasi objek-objek konkret. Untuk penerapannya
di dalam pembelajaran, akan lebih baik jika setiap teori pembelajaran
matematika itu tidak berdiri sendiri-sendiri, tetapi dikombinasikan sesuai
dengan kebutuhan.
C.
Penjumlahan
Bilangan Pecahan
1. Pengertian
Bilangan Pecahan dapat
diartikan sebagai bagian dari sesuatu yang utuh. Dalam ilustrasi gambar, bagian
yang dimaksud adalah bagian yang diperhatikan,yang biasanya ditandai dengan
arsiran. Bagian inilah yang dinamakan pembilang. Adapun bagian yang utuh adalah
bagian yang dianggap sebagai satuan, dan dinamakan penyebut. (Heruman, 2008:43)
Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana
Pendidikan Badan Penelitian dan Pengembangan (Depdikbud, 1999) menyatakan bahwa
pecahan merupakan salah satu topik yang sulit untuk diajarkan. Kesulitan itu
terlihat dari kurang bermaknanya kegiatan pembelajaran yang dilakukan guru, dan
sulitnya pengadaan media pembelajaran. Akibatnya, guru biasanya langsung
mengajarkan pengenalan angka, seperti pada pecahan
, 1 disebut pembilang dan 2 disebut penyebut.

Mengajarkan penjumlahan bilangan pecahan
pada siswa kelas IV masih dalam tahap pengenalan. Untuk itu dalam pembelajaran
materi pecahan hendaknya siswa diberi contoh yang nyata atau bisa dengan
mengaitkan langsung dengan kehidupan sehari-hari mereka. Misalnya Dina mendapat
1
jeruk dari ibunya yang baru pulang dari pasar. Kemudian ayahnya
memberi lagi 1
jeruk lagi. Berapa jeruk yang
dimiliki Dina?


Seperti ada gambar di bawah ini :
GAMBAR 2.1
Penjumlahan
Pecahan


D.



+ =
1
1
3


Jeruk
pemberian ibu + Jeruk pemberian ayah =
Jeruk yang dimiliki Dina
Penjumlahan pecahan di Sekolah Dasar meliputi penjumlahan
bilangan pecahan yang berpenyebut sama dan berpenyebut tidak sama. Di kelas IV
ini siswa tidak mampu memahami
penjumlahan pecahan yang berpenyebut tidak sama pada soal cerita. Jadi pada
penelitian ini akan difokuskan pada
materi penjumlahan pecahan berpenyebut tidak sama dan bagaimana cara
penyelesaiannya dalam bentuk soal cerita.
2. Konsep
Pecahan
Penjumlahan pecahan seperti ini dapat
dilakukan bila penyebutnya disamakan terlebih dahulu melalui KPK atau mencari
pecahan yang senilai dengan pecahan yang ingin dihitung. Pecahan yang dijumlahkan adalah
bilangan pembilangnya sedangkan bilangan penyebutnya tidak dijumlahkan.
Contoh
dalam bentuk biasa :






Ket:
3
dan
2 = pembilang
5
dan
7 = penyebut
Melalui KPK maka penyebutnya
menjadi 35. Kenapa begini, karena setelah melakukan pencarian pecahan yang
senilai dengan
dan
hanya pecahan yang berpenyebut 35
yang sama dengan
dan
.




D.
Model
Pemecahan Masalah
Secara umum model mempunyai pengertian suatu
garis-garis besar haluan untuk bertindak dalam usaha pencapaian sasaran yang
telah ditentukan. Dihubungkan dengan belajar mengajar, model bisa diartikan
sebagai kerangka
konseptual yang menggambarkan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan
pengalaman belajar bagi para siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran dan
berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar
dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar, Toeti Soekamto dan
Winataputra (1995).
Yoice dan Weil (1972) dan Shower (1992), berpendapat
bahwa istilah model mempunyai dua pengertian, yaitu: (1). Model mempunyai makna
yang lebih luas daripada strategi, metode atau prosedur. Model pembelajaran
mencakup suatu pendekatan pengajaran yang lebih luas dan menyeluruh. Dalam hal
ini suatu model pembelajaran dapat menggunakan sejumlah keterampilan,
metodologis, dan prosedur. (2). Model pembelajaran dapat berfungsi sebagai
sarana komunikasi yang penting tentang bagaimana mengajar dikelas, tujuan apa
yang ingin dicapai, urutan langkah-langkah mengajar, kesesuaian model dengan
materi yang akan diajarkan, serta evaluasi terhadap siswa.
Oleh karena itu, dalam mengajarkan materi tertentu
salah satu usaha yang harus dilakukan oleh seorang guru yakni harus mampu
memilih model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik materi tersebut
agar indikator pembelajaran dapat tercapai.
Belajar pemecahan masalah adalah belajar
menggunakan metode-metode ilmiah atau berpikir secara sistematis, logis,
teratur dan teliti. Tujuannya adalah untuk memperoleh kemampuan dan kecakapan
kognitif untuk memecahkan masalah secara rasional, lugas dan tuntas.
Pemecahan masalah menjadi fokus penting
dalam kurikulum Matematika sekolah mulai jenjang Sekolah Dasar sampai sekolah
menengah. Penguasaan setiap standar kompetensi selalu dilengkapi dengan suatu
kompetensi dasar pemecahan masalah yang berkaitan dengan standar kompetensi
tersebut. Kemampuan memecahkan masalah adalah kemampuan kognitif tingkat tinggi.
Keberhasilan proses pembelajaran menggunakan model pemecahan masalah sangat
bergantung kepada guru dalam meramu strategi pembelajaran. Guru dituntut untuk
mampu mengembangkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah dengan melatih
siswa untuk menggunakan strategi-strategi pemecahan masalah.
Kesenjangan di atas dapat diatasi melalui
pembelajaran pemecahan masalah yang sesuai dan patut dengan siswa sekolah
dasar. Akan tetapi sering terlihat kenyataan di lapangan, guru cenderung hanya
mengajarkan strategi pemecahan masalah yang kaku seperti menetapkan apa yang
diketahui, ditanya dan membuat jawaban. Strategi ini secara teknis terlihat
efektif tetapi justru disinilah letak berbagai kesulitan siswa muncul terutama
untuk siswa kelas rendah. Guru hanya menuntut siswa untuk menyelesaikan soal
dengan cara paper and pencil saja tanpa melatih
strategi-strategi khusus serta tanpa menggunakan media yang layak digunakan
oleh siswa dalam memecahkan masalah. (Dindin, 2000:online)
Jika hal ini terjadi, maka akan terjadi
kesenjangan antara pemecahan masalah sebagai tahap berpikir tingkat tinggi
dengan cara berpikir siswa yang masih berpikir secara konkrit sehingga
muncullah kesulitan- kesulitan yang terjadi oleh siswa.
Pemecahan masalah adalah proses yang
ditempuh oleh seseorang untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya sampai
masalah itu tidak lagi menjadi masalah baginya. Polya, Branford & Stern
menyatakan bahwa pemecahan masalah adalah suatu keterampilan yang dapat
diajarkan dan dipelajari. (Moursund, 2005: 30)
Pemecahan masalah harus dikembangkan untuk situasi
yang lebih bersifat riil atau alamiah, dengan tema permasalahan yang diambil
dari kejadian sehari-hari yang dekat dengan kehidu-pan siswa. Dengan cara ini
diharapkan siswa lebih tertarik pada pelajaran. Selain itu, proses pemecahan
masalah sebaiknya dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil, sehingga memberi
peluang untuk berdiskusi dan saling ber-tukar pendapat yang dapat mengembangkan
kemampuan berkomunikasi.
Menurut
Ismail (2003, 33). Langkah-langkah dan peran guru- siswa dalam model
pembelajaran berbasis pemecahan masalah yaitu: (1). Orientasi siswa kepada
masalah. (2). Mengorganisasikan siswa untuk belajar. (3). Membimbing
penyelidikan individual atau kelompok. (4). Mengembangkan dan menyajikan hasil
karya. (5). Menganalisis dan
mengevaluasi proses pemecahan masalah.
Dalam memecahkan masalah atau soal ada
empat proses langkah yang diberikan George Polya, yaitu : (1). Memahami masalah.
(2). Menyusun suatu rencana atau strategi yang akan dilakukan. (3). Melaksanakan
rencana atau strategi yang telah ditetapkan. (4). Mengevaluasi penyelesaian
yang telah dilakukan. (Syahrawardi, 2011:10)
Sanjaya (2007: 220) mengemukakan beberapa keunggulan
pembelajaran dengan model pemecahan masalah diantaranya:
1. Pemecahan masalah merupakan teknik yang cukup
bagus untuk memahami isi pelajaran.
2. Menantang kemampuan siswa serta
memberikan kepuasan untuk menemukan pengetahuan baru bagi siswa.
3. Meningkatkan aktivitas pembelajaran
siswa.
4. Membantu siswa bagaimana mentransfer
pengetahuan mereka untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata.
5. Membantu siswa untuk mengembangkan
pengetahuan barunya dan bertanggung jawab dalam pembelajaran yang mereka
lakukan.
6. Dapat mendorong untuk melakukan
evaluasi sendiri baik terhadap hasil maupun proses belajarnya.
7. Bisa memperlihatkan kepada siswa bahwa
setiap mata pelajaran pada dasarnya merupakan cara berpikir, dan sesuatu yang
harus dimengerti oleh siswa, bukan hanya sekedar belajar dari guru atau dari
buku–buku saja.
8. Dianggap lebih menyenangkan dan
disukai siswa.
9. Mengembangkan kemampuan siswa untuk
berpikir kritis dan mengembangkan kemampuan mereka untuk menyesuaikan dengan
pengetahuan baru.
10. Memberikan kesempatan pada siswa
untuk mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata.
Gustaf (2010: 70) mengemukakan kelemahan model pemecahan
masalah sebagai berikut :
1. Beberapa pokok bahasan sangat sulit
untuk menerapkan model ini
2. Memerlukan alokasi waktu yang lebih
panjang dibandingkan model pembelajaran lain
Johson dan Rising mengemukakan beberapa alasan pemecahan
masalah menjadi suatu kegiatan belajar yang paling signifikan dalam pelajaran
matematika, yaitu: (1). Pemecahan masalah adalah suatu proses untuk belajar
suatu konsep baru. (2). Pemecahan maslah adalah suatu cara yang paling tepat
untuk mempratekkan keterampilan komputasional.(3). Melalui pemecahan masalah
diperoleh pengetahuan baru.(4). Pemecahan masalah dapat merangsang rasa
keingintahuan intelektual. (Syamsuddin, 2003: 224)
Pemecahan
masalah merupakan kegiatan pembelajaran dengan jalan melatih siswa menghadapi
berbagai masalah, baik itu masalah perorangan maupun masalah kelompok untuk
dipecahkan sendiri atau secara bersama-sama. Pembelajaran Matematika dengan
pemecahan masalah berarti guru menyajikan materi pelajaran dengan mengarahkan
siswa kepada pemanfaatan strategi pemecahan masalah dalam memahami materi
pelajaran dan dalam menyelesaikan soal-soalnya. Materi pelajaran dipandang
sebagai sekumpulan masalah yang harus dipahami dan diselesaikan.
Masalah Matematika di Sekolah Dasar
sering disajikan dalam bentuk soal cerita, soal tidak rutin, teka-teki dan pola
bilangan. Tetapi dalam buku-buku teks pembelajaran yang sering digunakan adalah
soal cerita ditambah dengan ilustrasi gambar.
Seorang siswa mungkin mempunyai
kemampuan yang bagus dalam penjumlahan, pengurangan dan perkalian. Tetapi
mereka kurang mampu untuk memecahkan masalah seperti berikut ini : Dina membeli
1 biji semangka, dipotong menjadi
,
untuk adiknya. Berapa sisa semangka Dina?
Contoh kasus ini merupakan hal yang umum yang dapat terjadi dalam kehidupan
sehari-hari, dan keterlibatan penghitungan itu bukanlah hal yang sulit. Akan
tetapi banyak siswa masih sulit memecahkan masalah ini. Kesulitan dari sebagian
besar masalah Matematika tidak terletak pada perhitungan, tetapi lebih pada
pengetahuan bagaimana memperjelas masalah sehingga masalah tersebut dapat
dipecahkan.


Menurut
Hudoyo (2005: 29) ada beberapa jenis masalah dalam Matematika, yaitu :
1. Masalah
Translasi
Merupakan masalah kehidupan sehari-hari
yang untuk menyelesaikannya perlu translasi dari bentuk verbal ke bentuk
Matematika.
2. Masalah
Aplikasi
Memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menyelesaikan masalah dengan menggunakan berbagai macam-macam keterampilan dan
prosedur Matematika.
3. Masalah
Proses
Biasanya untuk menyusun langkah-langkah
merumuskan pola dan strategi khusus dalam menyelesaikan masalah.
4. Masalah
Teka-Teki
Seringkali digunakan untuk rekreasi dan
kesenangan sebagai alat yang bermanfaat untuk tujuan afektif dalam pembelajaran
Matematika.
E.
Tinjauan
Materi Matenatika yang diteliti
1. Standar
Kompetensi : Menggunakan pecahan dalam pemecahan
Masalah.
2. Kompetensi
Dasar : Menjumlahkan pecahan
3. Indikator : Melakukan operasi hitung penjumlahan
Pecahan berpenyebut tidak sama
4. Materi
Pembelajaran
a. Materi
Pokok : Penjumlahan bilangan pecahan
b. Sub-sub
Materi : - Menjumlahkan
dua pecahan biasa
Berpenyebut
tidak sama.
- Menjumlahkan
dua pecahan berpenyebut
tidak
sama dalam bentuk soal cerita.
F.
Kerangka
Pemikiran
Sesuai dengan tingkat kematangan dan
perkembangan psikologis anak, pembelajaran materi penjumlahan pecahan soal
cerita akan sangat baik jika menerapkan model pemecahan masalah. Karena pada
umumnya siswa sekolah dasar cepat bosan terhadap pelajaran dan menganggap
pelajaran sulit. Pemberian masalah berupa soal cerita anak akan mampu berpikir
kritis dan dapat saling bertukar pikiran dengan teman-teman kelompoknya. Model
pemecahan masalah kepada siswa yaitu dengan memudahkan dan menyederhanakan
kalimat dalam materi penjumlahan pecahan
dalam bentuk soal cerita yang ada di buku dengan kalimat sendiri dan
berdasarkan kehidupan sehari-hari. Dengan ini siswa akan lebih tertarik dan
cepat memahami materi yang diberikan.
GAMBAR 2.2
Bagan Kerangka Pemikiran
![]() |
|||
|
|
|
G.
Hipotesis
Tindakan
Berdasarkan rumusan masalah dan dan
rujukan dari kajian pustaka di atas dapat dirumuskan hipotesis tindakan sebagai
berikut : “ Jika diberikan model pemecahan masalah, dapat meningkatkan kemampuan
dan hasil belajar siswa dalam melakukan
penjumlahan bilangan pecahan soal cerita di kelas IV SD Islam Al-Madaniyah Jaro
”.
BAB III
METODE PENELITIAN
A.
Setting
Penelitian
Penelitian
ini dilaksanakan di SD Islam Al-Madaniyah Jaro yang beralamat di Jalan H. Noor
Aisi Desa Nalui Kecamatan Jaro Kabupaten Tabalong Provinsi Kalimantan Selatan
pada semester ganjil tahun pelajaran 2012/2013. Subjek penelitian adalah siswa
kelas IV yang berjumlah 27 orang, yang terdiri dari 18 siswa laki-laki dan 9
siswi perempuan.
Berdasarkan
hasil belajar siswa pada materi penjumlahan pecahan tahun pelajaran 2011/2012
yang mencapai KKM hanya 40% yaitu 10 dari 25 siswa. Padahal materi ini dianggap
tuntas apabila KKM mencapai 95% dari seluruh siswa. Terlebih lagi materi ini
dianggap penting karena erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari siswa
apalagi kelak jika sudah dewasa siswa dapat menerapkannya dalam lingkungan
tempat tinggalnya.
B.
Variabel
yang diteliti
Untuk dapat
menjawab permasalahan tersebut di atas, ada beberapa faktor yang diselidiki
seperti berikut ini :
1. Faktor
guru, melihat kemampuan dan cara guru mengajar serta membimbing siswa di dalam
kelas. Kemampuan sangat penting dimiliki oleh setiap guru dalam proses belajar
mengajar. Semakin tinggi kemampuan guru dalam melaksanakan proses belajar
mengajar, maka semakin tinggi pula kemampuan dan keberhasilan belajar yang
dicapai siswa. Seperti dijelaskan oleh Hasibuan, bahwa mengajar dalam kelas
merupakan perwujudan interaksi dalam proses komunikasi, guru sebagai pemegang
kunci sangat menentukan keberhasilan belajar. Aktivitas guru memberikan
pengajaran dan bimbingan kepada siswa dalam memecahkan masalah, mendorong siswa
untuk bertanya, membimbing siswa membuat penyelesaian masalah pada LKS dan
soal-soal latihan serta merangkum pelajaran (Daryanto, 2010: 200)
2. Faktor
siswa, melihat tingkat kemampuan siswa kelas IV SD Islam Al-Madaniyah Jaro
terhadap pemahaman materi dan penyelesaian soal penjumlahan pecahan melalui
model pemecahan masalah Aktivitas siswa, melihat kegiatan siswa kelas IV SD Islam Al-Madaniyah
Jaro selama pembelajaran berlangsung pada materi penjumlahan pecahan serta cara
memecahkan masalah. Yang mencakup memperhatikan penjelasan guru, mengerjakan
LKS dan soal-soal latihan, bertanya kepada guru atau siswa lain, berdiskusi
bersama kelompok dalam memecahkan masalah, melaporkan hasil kerja kelompok dan
menulis rangkuman pelajaran. Gie (1985) mengatakan bahwa keberhasilan siswa
dalam belajar tergantung pada aktivitas yang dilakukannya selama proses
pembelajaran.
3. Faktor
hasil belajar yang diperoleh dari kemampuan siswa mengerjakan soal-soal latihan
pada setiap pertemuan dan LKS selama proses pembelajaran.
C.
Jenis
Penelitian
Jenis penelitian
yang digunakan pada penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK).
Penelitian tindakan kelas merupakan terjemahan dari Classroom Action Research, yaitu satu action research yang dilakukan di kelas. Penelitian tindakan kelas
ini menekankan kepada kegiatan dengan mengujicobakan suatu ide ke dalam praktek
nyata dalam skala mikro. Penelitian tindakan kelas merupakan suatu penelitian
yang mengangkat masalah-masalah aktual yang dihadapi oleh guru di lapangan
(Wibawa, 2004: 3).
Arikunto (2010:
3) mengemukakan bahwa penelitian tindakan kelas merupakan suatu pencermatan
terhadap kegiatan belajar berupa sebuah tindakan, yang sengaja dimunculkan dan
terjadi dalam sebuah kelas secara bersama. Tindakan ini dilakukan oleh guru di
kelas atau di sekolah tempat ia mengajar dengan penekanan pada penyempurnaan
atau peningkatan proses dan praktik pembelajaran (Aqib, 2006: 19).
Berbagai pendapat di atas tentang pengertian penelitian
tindakan kelas, maka dapat disimpulkan bahwa penelitian tindakan kelas adalah
penelitian yang dilakukan oleh guru di dalam kelasnya sendiri melalui refleksi
diri, dengan tujuan untuk memperbaiki kinerjanya sebagai guru, sehingga hasil
dan kemampuan belajar siswa meningkat serta untuk meningkatkan
pendidikan dengan melakukan perubahan ke arah perbaikan terhadap hasil
pendidikan dan pembelajaran.
Penelitian yang
saya lakukan ini dalam 1 siklus dengan 2 kali pertemuan. Siklus 1 pertemuan 1
akan mempelajari tentang penjumlahan
pecahan biasa berpenyebut tidak sama . Siklus 1 pertemuan 2 akan mempelajari
tentang penjumlahan pecahan soal cerita berpenyebut tidak sama dan Siklus I
pertemuan 3 akan melakukan tes siklus. Diharapkan melalui 1 siklus dengan 3
kali pertemuan ini siswa kelas IV SD Islam Al-Madaniyah Jaro mampu
menyelesaikan soal-soal materi penjumlahan pecahan soal biasa dan khusunya pada
soal cerita secara benar sehingga terjadi peningkatan pada hasil belajar. Kalau
1 siklus belum berhasil, maka akan dilaksanakan kembali untuk melakukan siklus II untuk 1.
Menurut Arikunto (2010: 16) pelaksanaan penelitian
tindakan dilakukan melalui empat tahap, yaitu: (1) perencanaan, (2) pelaksanaan
(3) pengamatan (4) refleksi. Adapun model dan penjelasan untuk masing-masing
tahap adalah sebagai berikut :
GAMBAR 3.1
Alur Penelitian Tindakan Kelas
![]() |
Tahap
1: Perencanaan
Tahap
ini peneliti menjelaskan tentang apa, mengapa, kapan, dimana, oleh siapa dan
bagaimana tindakan tersebut dilakukan. Tahap menyusun rancangan ini peneliti
menentukan titik atau fokus peristiwa yang perlu mendapat perhatian khusus
untuk diamati, kemudian membuat sebuah instrument pengamatan untuk membantu
peneliti merekam fakta yang terjadi selama tindakan berlangsung.
Tahap
2: Pelaksanaan
Pelaksanaan
yang merupakan implementasi atau penerapan isi rancangan, yaitu mengenakan
tindakan di kelas.
Tahap
3: Pengamatan
Kegiatan
yang dilakukan oleh pengamat terhadap apa yang terjadi ketika tindakan
berlangsung yang dilaksanakan oleh guru.
Tahap
4: Refleksi
Kegiatan
untuk mengemukakan kembali apa yang sudah dilakukan. Kegiatan ini sangat tepat
dilakukan ketika guru pelaksana sudah selesai melakukan tindakan, kemudian
berhadapan dengan observer untuk mendiskusikan implementasi rancangan tindakan.
D.
Prosedur
Penelitian
1. Persiapan
Penelitian
a. Rancangan
Pelaksanaan Penelitian untuk siklus I
TABEL 3.1
Rancangan Pelaksanaan Penelitian
Siklus
|
Pertemuan
|
Alokasi waktu
|
Materi
|
1
|
1
|
3 x 35 menit
|
Operasi Penjumlahan Biasa pada
Pecahan Berpenyebut tidak sama
|
2
|
3 x 35 menit
|
Operasi Penjumlahan Soal Cerita pada
Pecahan Berpenyebut tidak sama
|
|
3
|
2 x 35 menit
|
Tes Siklus
|
b. Menentukan
Observer
Kepala sekolah menyarankan kepada
saya agar menunjuk Bapak Syahriadi, S.Pd sebagai observer dalam pelaksanaan
penelitian ini, karena beliau sudah berpengalaman dalam pembelajaran Matematika
dan juga dalam hal pelaksanaan PTK.
2. Pelaksanaan
Penelitian
Siklus I
Prosedur
penelitian tindakan kelas ini akan dilaksanakan sebanyak dua siklus, yang terdiri dari tiga kali pertemuan. Dimana dua kali pertemuan dialokasikan untuk proses pembelajaran yang
diakhiri dengan penilaian, sedangkan pertemuan ketiga diadakan tes siklus.
Rencana
pelaksanaan penelitian tindakan kelas pada siklus pertama adalah sebagai
berikut:
a.
Rencana Tindakan
1) Melakukan analisis kurikulum untuk mengetahui
standar kompetensi dan kompetensi dasar yang akan disampaikan kepada siswa pada
proses pembelajaran
2) Membuat rencana pelaksanaan pembelajaran
(RPP)
3) Membuat LKS dan soal-soal latihan individu
4) Membuat media manipulatif dari karton dan menyediakan
benda-benda nyata seperti kue, apel dan lain-lain sebagainya yang dapat
membantu proses pembelajaran
5) Mengajarkan konsep penjumlahan pecahan dengan jelas
6) Menerapkan model pemecahan masalah dalam
pembelajaran dengan cara memberikan LKS berupa masalah
7) Membagi siswa ke dalam kelompok kecil 3-4
orang
8) Mengadakan pembagian tugas antara peneliti
sekaligus sebagai pengamat (observer)
dan pengajar
b.
Pelaksanaan Tindakan
Tahap
ini merupakan implementasi dari semua rencana yang telah dibuat. Tahapan ini
berlangsung di dalam kelas. Tahapan ini adalah realisasi dari segala rencana
yang telah dipersiapkan sebelumnya, meliputi rencana pelaksanaan pembelajaran,
lembar kerja siswa, serta instrumen lainnya yang telah disiapkan.
c.
Pengamatan atau Observasi
Pada
tahap ini dilakukan observasi sebagai upaya merekam beberapa peristiwa dan
kegiatan yang terjadi selama pelaksanaan tindakan berlangsung. Hal ini
dilakukan dengan menggunakan lembar observasi aktivitas siswa dalam proses
pembelajaran. Observasi dilakukan oleh Bapak Syahriadi, S.Pd sebagai observer dengan cara mengisi lembar observasi aktivitas
siswa dan membuat catatan terhadap kegiatan guru yang masih kurang atau yang
tidak sesuai.
d.
Refleksi
Tahap
ini merupakan tahapan untuk memproses data yang didapat pada saat dilakukan
pengamatan. Refleksi juga merupakan upaya untuk mengkaji apa yang telah
dihasilkan atau yang belum berhasil dituntaskan dengan pelaksanaan tindakan
yang telah dilakukan. Berdasarkan hasil observasi dari observer dan hasil evaluasi di akhir siklus maka akan dijadikan
pertimbangan memasuki siklus berikutnya.
Siklus II
Pelaksanaan
siklus II dilaksanakan setelah mempelajari hasil refleksi pada siklus I.
Tahap-tahap pelaksanaan siklus II sama dengan siklus I
E.
Data dan Sumber Data
1.
Data
a. Hasil penilaian proses belajar peserta didik
b. Lembar kegiatan peserta didik
c. Lembar observasi pelaksanaan pembelajaran
d. Lembar ulangan harian peserta didik dan
Raport
2.
Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sumber data primer yaitu diambil dari hasil setiap penilaian berupa
LKS dan latihan yang dikerjakan siswa setelah tindakan diaplikasikan pada setiap pertemuan.
F.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang
digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.
Tes
Tes dilakukan dengan cara memberikan tes
kemampuan kepada siswa yaitu berupa latihan sebagai evaluasi di setiap akhir
pertemuan dan tes siklus pada akhir siklus.
2.
Observasi
Observasi
dilakukan untuk memperoleh data mengenai aktivitas siswa dan kegiatan guru
dalam proses pembelajaran menggunakan model pemecahan masalah dengan menggunakan lembar observasi aktivitas siswa dalam
proses pembelajaran.
3.
Dokumentasi
Dokumentasi
digunakan untuk mengumpulkan data berupa nilai ulangan harian, tugas dan
pekerjaan rumah siswa dan nilai rapor mata pelajaran matematika siswa pada
waktu masih kelas III.
Agar di kelas IV ini peneliti dapat mengetahui kemampuan yang dimiliki setiap
siswa.
G.
Analisis Data
Teknik
analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data Kualitatif. Pada perhitungan persentase hasil belajar
digunakan rumus persentase dari Sudijono (2008) yaitu:

Keterangan:
P = angka persentase
f = frekuensi yang sedang dicari persentasenya
N = banyaknya individu
(jumlah frekuensi)
Untuk memberikan penilaian hasil belajar siswa secara individu digunakan
rumus dari Usman dan Setiawati (2001) yaitu dengan rumus:

Keterangan: N = nilai akhir
H.
Indikator
Keberhasilan
Keberhasilan
penelitian tindakan kelas ini dapat dikatakan optimal dengan ketentuan sebagai
berikut:
1.
Aktivitas guru dapat dikatakan baik
apabila dalam pengelolaan pembelajaran guru mampu memberikan pengajaran dan
bimbingan kepada siswa dalam memecahkan masalah, mendorong siswa untuk
bertanya, membimbing siswa membuat penyelesaian masalah pada LKS dan soal-soal
latihan serta membuat kesimpulan materi.
2.
Aktivitas siswa dikatakan baik apabila
dalam pembelajaran siswa aktif membuat catatan, bekerjasama dengan anggota
kelompoknya dalam penyelesaian masalah yang ada pada LKS, mengerjakan soal-soal
latihan, mengajukan pertanyaan pada guru, memberi tanggapan atau jawaban,
membuat kesimpulan materi.
3.
Bila hasil belajar siswa secara individu
mendapat nilai 70 dan secara klasikal mencapai 80% dalam proses pembelajaran.
I.
Jadwal
Penelitian
TABEL 3.2
Jadwal Penelitian

Tidak ada komentar:
Posting Komentar