DARAH SYUHADA TUMPAH MEMBASAHI BUMI SUNGAI MALANG
15 September 1860 (150 Tahun Silam)
Disalin kembali Oleh Adum M. Sahriadi (Pambakal Sambang Lihum)
dari Kisah “PERANG BANJAR”
PENANGKAPAN HAJI ABDULLAH (15 SEPTEMBER 1860)
Judul Asli “De Bandjarmasinse Krijg”
Oleh: W.A. VAN RESS
Alih Bahasa oleh: H.M. SALEH
Bibliotheek MINSEIBU Banjarmasin
(Halaman 293-301)

Sungai di Amuntai dengan jukung-jukung sebagai alat transportasi dulu, tahun 1910
Pada
tanggal 15 dan 12 September 1860, pasukan Kolonial Belanda kembali
berhasil memasuki Amuntai. Hal ini disebabkan karena keuletan pimpinan
pasukan Kolonial Belanda, VAN EMDE dan VERSIJCK. Dengan pasukan 100
orang, berhasil mengadakan hubungan antara RINGKAU KANTAN dengan AMUNTAI
melalui suatu daerah yang sangat asing sekali.
Di Tabalong pasukan Kolonial Belanda masih dipimpin oleh EICHELBACH.
Di sana sempat terjadi perlawanan dari para pejuang yang mengakibatkan
tertundanya rencana untuk melumpuhkan para pejuang oleh pasukan Kolonial
Belanda. Namun usaha para pejuang tidak dapat bertahan lama, sebulan
kemudian pasukan Kolonial Belanda berhasil melumpuhkan perlawanan para
pejuang.
Pada tanggal 14 September 1860, dua orang pimpinan pejuang, yaitu
PENGHULU SOELATIF dan DJALALOEDIN jatuh dalam perangkap pasukan Kolonial
Belanda, akhirnya ditahan dan diperiksa/diselidiki. Tertangkapnya dua
orang pimpinan pejuang tersebut dikarenakan usaha kedua pejuang tersebut
untuk menyeludup ke dalam tangsi (benteng) pada malam hari untuk
membuat keonaran di dalam tangsi, telah diketahui oleh spion (mata-mata)
Belanda dan melaporkannya kepada pimpinan pasukan Kolonial Belanda, VAN
OIJEN.
Para pejuang yang bersatu, hampir semuanya para tokoh agama (haji)
yang berpusat di SUNGAI MALANG. Salah seorang dari pejuang, yaitu
ABDULLAH menderita luka pada pahanya akibat terkena tembakan. VAN OIJEN
setelah mengetahui semua itu bertekad untuk segera menangkap para
pejuang dengan jalan apa pun.
Pasukan Kolonial Belanda terus mengadakan operasi/ekspedisi, dan
mereka menganggap usaha untuk melumpuhkan para pejuang itu seakan-akan
enteng, mudah saja. Namun apa sebaliknya, dalam pertempuran tersebut
banyak berjatuhan korban, ditandai jatuhnya seorang perwira dan beberapa
prajurit dari pasukan Kolonial Belanda.
Pada waktu subuh tanggal 15 September 1860, sudah disiapkan satu
datasemen pasukan oleh Kolonial Belanda sebanyak 60 orang. Mereka
terbagi dalam 3 peleton di bawah komando VAN EMDE, VERSPIJCK, dan VAN
der WIJCK untuk melaksakan perintah penangkapan terhadap para pejuang.
Tapi rencana tersebut tidak diberitahukan kepada para prajurit pasukan
Belanda, kecuali para perwira saja. Ketika hendak berangkat, rencana
tersebut baru diberitahukan kepada para prajurit Belanda. Mendengar
rencana untuk menangkap para pejuang, para prajurit Belanda menjadi
cemas, karena sudah tidak asing lagi bagi mereka bahwa pertempuran
dengan para pejuang pasti akan terjadi dan berlangsung seru. Para
pejuang tidak akan mundur dan menyerah begitu saja. Para pejuang akan
bertempur sampai tetes darah penghabisan, karena mereka dipimpin oleh
para ulama-ulama yang sangat fanatik dan meyakinkan para pejuang bahwa
perlawanan terhadap musuh wajib hukumnya. Untuk menghilangkan kecurigaan
para pejuang, para prajurit pasukan Kolonial Belanda tidak berani
meniup terompet dan tidak menyentuh genderang. Mereka mengganti isyarat
untuk terjun ke medan pertempuran hanya dengan kedipan mata dari
pimpinan saja.
Setelah mengadakan pengamanan, pasukan Belanda mengadakan penyerangan
terhadap para pejuang, dengan menyusup melalui padang alang-alang dan
tanah persawahan menuju sarang persembunyian para pejuang.
Dalam penyerangan yang dilakukan oleh pasukan Belanda di bawah komando
VAN EMDE. VAN EMDE dianggap oleh para pasukan Belanda sebagai seorang
pimpinan yang akan membawa kemenangan, karena VAN EMDE sering membawa
kemenangan seperti yang pernah terjadi pada pertempuran di KELUA,
KARANGAN PUTIH, MUNGGU FAJAR, dan lain-lain. Selain itu juga VAN EMDE
mempunyai taktik perang yang cukup tinggi, dan juga merupakan seorang
komandan yang gagah berani.
Pada saat penyergapan tersebut, tiba-tiba ada pertanyaan dengan suara
yang sangat keras oleh seorang pejuang. VAN EMDE merasa bahwa teguran
itu sangat kasar dan memberikan peringatan kepada para pejuang bahwa
tindakan itu sangat kurang ajar. Peringatan VAN EMDE dijawab oleh para
pejuang dengan tindakan meminta maaf atas ucapan mereka. Para pejuang
menjelaskan kenapa mereka harus berbuat demikian, karena orang tua
mereka HAJI ABDULLAH seorang yang tunduk kepada Goebernemen, pada saat
melakukan ibadah sembahyang dengan tidak terduga-duga telah kena
telawang dan luka. Oleh karena itu orang tua kami terpaksa harus dirawat
di rumah dan dalam keadaan yang serba tidak aman dan tentram sekarang
ini, kami harus sangat hati-hati, tetap waspada dan siap siaga, karena
itulah secara berganti-ganti kami menjaga orang tua kami yang sedang
sakit.
VAN EMDE tidak merasa puas dengan alasan-alasan yang diberikan para
pejuang, lalu dia kembali bertanya siapakah sebenarnya mereka? Para
pejuang kembali memberikan jawaban bahwa mereka adalah: HAJI SINGAT dan
JOESIP beserta 2 orang pengikut.
Mendengar semua itu VAN EMDE menganggap mudah untuk menyergap keempat
para pejuang itu. Namun, VAN EMDE juga berpikir kalau dia menyergap
para pejuang itu sekarang maka akan sulit mencapai tujuan akhir. Di
samping itu pula, para pejuang pasti akan mengadakan perlawanan dan
memberikan tanda alarm kepada para pejuang lainnya.
Oleh karena itu, VAN EMDE tetap tenang-tenang saja dan berkata kepada
para pejuang (penjaga), “Beritahukan orang tua kamu (para pejuang) atas
kedatangan saya dan bahwa saya Tuan A.R. VAN Oijen mengetahui atas
musibah yang menimpa Haji yang sedang memerlukan pertolongan! Karenanya
kami bermaksud membawanya ke rumah Tuan Regent di Amuntai dan
mengadakan pengobatan sebaik-baiknya di sana, mengingat sangat sulit
bagi tuan dokter untuk menempuh jarak yang begitu jauh, pulang pergi ke
Sungai Malang setiap hari.”
Mendengar seruan dari VAN EMDE, Haji Sirat dan kawan-kawan dapat
menerimanya, dengan diikuti pasukan Belanda, para pejuang menuju ke
rumah kediaman orang tuanya. Sementara itu jumlah para pejuang telah
bertambah dari 4 orang menjadi 11 orang.
Setibanya di rumah pertama (kampong ini hanya terdiri dari 3 buah
rumah saja), maka VAN EMDE memerintahkan kepada Letnan VERPSIJCK untuk
terus berjalan melewati rumah-rumah itu dan dengan diam-diam mengadakan
barikade/stelling pada sebelah kanan dan bagian belakangnya, terdiri
dari 20 prajurit dan lain-lain anggota pengangkut.
Perintah yang sama juga diberikan kepada VAN der WIJK untuk menutup
bagian sebelah kiri lainnya dengan ketentuan, bahwa dia sama sekali
tidak boleh meninggalkan pos itu untuk menghindari kemungkinan serangan
para pejuang dari belakang. Dengan demikian yang langsung di bawah
pimpinan VAN EMDE hanya terdiri dari 1 peleton saja.
Selanjutnya VAN EMDE menuju pelataran rumah kediaman HAJI ABDULLAH,
dikawal dengan 15 bayonet dan beberapa opas yang telah diperbantukan
kepada VAN EMDE oleh pemerintah sipil di Amuntai. Rumah itu dibangun di
atas tiang yang cukup tinggi dan terdapat 11 orang laki-laki, serta 4
orang wanita, dan kemungkinan llebih banyak lagi penghuninya dari apa
yang telah didengar dari luar.
Beberapa di antara beberapa para pejuang mencoba menerobos menghilang
dari pintu sebelah sisi rumah, namun usaha tersebut dapat dicegah oleh
VERPSIJCK. Jumlah yang ada sekarang adalah 19 orang Banjar, di antaranya
7 orang haji yang masih muda, berperawakan tegap dan bersenjatakan
senapang.
VAN EMDE melalui perantara seorang opas menyampaikan keinginan untuk
bertemu dengan HAJI ABDULLAH yang sudah tua dan sedang sakit, bahwa VAN
EMDE bermaksud untuk membawa HAJI ABDULLAH ke kota Amuntai dengan
mempergunakan tandu. Pada mulanya HAJI ABDULLAH bersedia diangkut dan
VAN EMDE disertai oleh 4 orang pembantunya mendekati tempat pembaringan
HAJI ABDULLAH yang menerimanya dengan wajah yang cemas dan dendam di
sisinya.
Sesudah berbicara beberapa patah kata, maka VAN EMDE menuju ke luar
ke serambi rumah muka, di mana dia terlibat dalam percekcokan dengan
anak buah HAJI ABDULLAH yang menentang sekeras-kerasnya atas
pengangkutan orang tua mereka ke Amuntai. Dengan cara tenang VAN EMDE
berhasil membujuk mereka dan mereka setuju mengawal orang tuannya,
disertai lagi dengan seseorang yang bernama MAT NASSIR. Kemudian
berkatalah HAJI JOESIP, “Kalau demikian, baiklah dan dipersilahkan
mengangkatnya!”
Sementara itu secara diam-diam VERPSIJCK dan VAN der SPIJK berhasil
merapatkan para prajuritnya, sehingga terkurunglah keluarga HAJI
ABDULLAH dan tidak mungkin lolos lagi. VERPSIJCK tetap siap sedia dan
berdiri tidak jauh dari beberapa langkah dengan VAN EMDE.
Keadaan sunyi, tetap mendebarkan. Dikawal oleh seorang sersan Belanda
dan 2 prajurit, masuklah para pengangkut ke ruangan dalam dengan
membawa tandu yang telah dipersiapkan. VAN EMDE sendiri bersama 15 orang
prajuritnya yang siap tempur berdiri di pelataran muka. Saat-saat yang
menenentukan akan tiba. Semua orang yang ada di sana memandang kea rah
luar dan dari raut muka masing-masing terlihat kegelisahan. Hanya
komandan VAN EMDE kelihatan tenang-tenang saja dan dengan klewang
terhunus VAN EMDE berbicara dengan beberapa haji.
HAJI ABDULLAH dibawa keluar kamar dengan tandu. Di sini dia
berpamitan dengan para pengikutnya, karena yang siap mengikuti atau
mengawal hanya 2 orang anaknya saja dan disertai oleh MAT NASSIR.
Ketika tandu akan diturunkan dari pelataran muka, HAJI ABDULLAH
berpikir kembali dan memanggil putranya yang bernama JOESIP agar
mendekatinya. Sesudah berbisik-bisik dan sesudah itu JOESIP mendekati
VAN EMDE dengan tiba-tiba HAJI ABDULLAH sambil membacakan suatu ayat
dari AL QUR’AN, memeberikan komando atau perintah untuk mengamuk.
Seketika itu juga ke 19 orang pejuang muslim yang sangat fanatik ikut
mencabut klewang-klewang dan keris-keris mereka masing-masing dan
menggempur para prajurit pasukan Belanda. Terjadilah pertempuran yang
luar biasa sengitnya, dan sangat kejam. Suatu perang-tanding yang belum
pernah terjadi sebelumnya pada pertempuran-pertempuran terdahulu.
Pada saat permulaan telah dilancarkan dua pukulan klewang pada kepala
VAN EMDE, serangan itu ditangkis oleh VAN EMDE dengan tangan dan
mengakibatkan tangannya terputus sama sekali. Sesudah itu para pejuang
kembali melancarkan pukulan ketiga terhadap VAN EMDE, namun VAN EMDE
berhasil mencabut klewang dan dapat melumpuhkan para pejuang dengan
pukulan pada bahu para pejuang. Dengan secepat kilat 2 orang haji
menyerbu untuk menolong temannya, sedangkan VERSPIJCK membela
mati-matian VAN EMDE. Melihat bahwa rasanya tidak dapat terus bertahan,
maka dengan cepat VERSPIJCK menarik VAN EMDE dari pertarungan di
pelataran itu, sambil membela diri mati-matian.
Dengan pertolongan prajurit DE LATER maka VERSPIJCK berhasil
melumpuhkan kedua orang pejuang, namun tidak dapat mencegah VAN EMDE
menderita tusukan sebanyak 7 mata luka, di antaranya 2 luka dari pelor.
Sementara VERSPIJCK sendiri menderita luka-luka ringan saja.
Pada saat-saat yang singkat, para pejuang masih mencoba menjatuhkan
tusukan keris terakhir pada VAN EMDE, tetapi dengan segala daya yang
masih tersisa VAN EMDE tetap berjuang membela diri sampai ke tepi
pelataran rumah sambil memegang seorang pejuang sekuat tenaga. Sewaktu
salah satu tangan seorang pejuang keluar, maka satu pukulan klewang dari
VERSPIJCK, tangan itu langsung putus. Sedangkan seorang prajurit
lainnya dengan tusukan bayonet pada mulut pejuang yang putus tangannya
tadi, pejuang tersebut langsung mati seketika itu juga.
Di lain pihak semua prajurit dari VAN der WIJCK tidak dapat berbuat
apa-apa, tapi masih dapat berhasil menyeret membawa keluar VAN EMDE
dalam keadaan masih hidup, namun penuh dengan 9 mata luka. Pada ketika
itu VERSPIJCK mengambil alih komando dan menyerbu ke medan pertempuran
yang masih berjalan dengan serunya, bertanding satu lawan satu, suatu
pertandingan mati-matian terbentang di hadapannya. Seorang letnan muda
bernama TIERBACH, berumur 19 tahun sedang dikerumuni oleh para pejuang
dan berhasil menewaskan semua pejuang dengan keberanian yang luar biasa.
TIERBACH tetap tidak mendapat cidera dan keluar sebagai pemenang.
Seorang yang bernama WIROSENTIKO, yaitu mandur dari orang-orang
hukuman yang menyertai pasukan ekspedisi tersebut yang hanya
bersenjatakan sebilah keris, bertarung melawan 2 orang pejuang.
WIROSENTIKO mendapatkan pukulan klewang dan tusukan keris dari dua orang
pejuang, namun dari cucuran darah yang mengalir dari salah seorang
pejuang ternyata WIROSENTIKO telah sempat juga mempergunakan kerisnya
dan tusukan keris yang kedua diarahkan ke perut haji, maka haji tersebut
terkulai mati karenanya. Sedangkan haji lainnya yang belum terluka
menyerbu dengan ganasnya ke arah WIROSENTIKO, sehingga WIROSENTIKO
terpaksa mengundurkan diri sampai ke tepi pelataran. Di sini WIROSENTIKO
kehilangan keseimbangan, dan kesempatan ini pula dipergunakan orang
Banjar untuk membenamkan kerisnya kea rah WIROSENTIKO. Namun meskipun
dia sudah sangat payah sekali akibat banyaknya darah yang mengalir, tapi
dia tidak menyerah begitu saja, ia menjepit tangan kana seorang pejuang
sekuat-kuatnya.
Sekarang merupakan pertarungan yang sangat menentukan dan
masing-masing mencoba membinasakan lawannya. VERSPSIJCK yang melihat
keadaan sangat gawat ini dengan sekali loncatan dan sekali pukulan
klewang kea rah orang Banjar sehingga menewaskan orang Banjar tersebut,
namun pada saat terakhir orang Banjar tersebut sempat melemparkan
klewang ke arah VERPSIJCK.
Ke-4 wanita yang selama terjadi perkelahian kelihatan tenang-tenang
saja dan tinggal di ruangan dalam, menarik perhatian VERPSIJCK sehingga
dia merasa kasihan kepada mereka. Untuk menyelamatkan mereka,
ditempatkanlah seorang penjaga di dekat pintu keluar, kemudian VERPSIJCK
menuju kea rah yang luka-luka. VAN EMDE masih bernafas, 8 prajurit luka
berat, 2 orang meninggal. Dan kalau kita mengarahkan pandangan ke arah
mayat-mayat orang Banjar, kita pasti dapat membayangkan betapa sengitnya
pertarungan yang baru saja terjadi di tempat itu.
Rupanya tragedy ini tidak hanya sampai di sini, karena tiba-tiba
terdengar pekikan-pekikan seru dan mengerikan dari ke-4 wanita tadi,
yang dengan klewang dan keris terhunus menyerbu ke penjaga pintu.
Sebelum sempat memberikan pertolongan, si penjaga pintu tadi langsung
tewas dengan 17 mata luka.
Meskipun VERPSIJCK telah berusaha keras mengendalikan balas dendam
dari para prajurit, namun akhrnya ke-4 wanita/perempuan itu dibunuh,
dibinasakan juga. Jumlah korban pejuang menjadi 24 orang, sedangkan di
pihak Belanda terdiri dari 3 orang meninggal, 11 orang luka berat, 2
orang di antaranya meninggal kemudian.
Pada sorenya sekitar pukul setengah dua, pasukan Belanda sudah
kembali di Amuntai. VAN EMDE kemudian meninggal dalam pelukan
teman-temannya di Amuntai. Kematian VAN EMDE merupakan suatu kerugian
yang sangat besar untuk tentara dan tanah air Belanda.