Jumat, 29 November 2013
Senin, 25 November 2013
Senin, 11 November 2013
Jenis Teater Tradisional Kalimantan Selatan
Mamanda
Dari Wikipedia bahasa Indonesia,
ensiklopedia bebas
Mamanda adalah seni
teater atau pementasan tradisional yang berasal dari Kalimantan Selatan. Dibanding dengan seni pementasan yang lain, Mamanda
lebih mirip dengan Lenong dari segi
hubungan yang terjalin antara pemain dengan penonton. Interaksi ini membuat
penonton menjadi aktif menyampaikan komentar-komentar lucu yang disinyalir
dapat membuat suasana jadi lebih hidup.[1]
Bedanya,
Kesenian lenong kini lebih mengikuti zaman ketimbang Mamanda yang monoton pada
alur cerita kerajaan. Sebab pada kesenian Mamanda tokoh-tokoh yang dimainkan adalah
tokoh baku seperti Raja, Perdana Menteri, Mangkubumi, Wazir, Panglima Perang,
Harapan Pertama, Harapan kedua, Khadam (Badut/ajudan), Permaisuri dan Sandut
(Putri).[1]
Tokoh-tokoh ini
wajib ada dalam setiap Pementasan. Agar tidak ketinggalan, tokoh-tokoh Mamanda
sering pula ditambah dengan tokoh-tokoh lain seperti Raja dari Negeri Seberang,
Perompak, Jin, Kompeni dan tokoh-tokoh tambahan lain guna memperkaya cerita.
Disinyalir
istilah Mamanda digunakan karena di dalam lakonnya, para pemain seperti Wazir,
Menteri, dan Mangkubumi dipanggil dengan sebutan pamanda atau mamanda
oleh Sang Raja. Mamanda secara etimologis terdiri dari kata "mama" (mamarina)
yang berarti paman dalam bahasa Banjar dan “nda” yang
berarti terhormat. Jadi mamanda berarti paman yang terhormat. Yaitu “sapaan”
kepada paman yang dihormati dalam sistem kekerabatan atau kekeluargaan.[1]
Seni drama
tradisional Mamanda ini sangat populer di kalangan masyarakat kalimantan pada
umumnya. Bahkan, beberapa waktu silam seni lakon Mamanda rutin menghiasi layar
kaca sebelum hadirnya saluran televisi swasta yang turut menyaingi acara
televisi lokal. Tak heran kesenian ini sudah mulai jarang dipentaskan.
Dialog Mamanda
lebih kepada improvisasi pemainnya. Sehingga spontanitas yang terjadi lebih
segar tanpa ada naskah yang mengikat. Namun, alur cerita Mamanda masih tetap
dikedepankan. Disini Mamanda dapat dimainkan dengan naskah yang utuh atau inti
ceritanya saja.
Madihin
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Madihin (berasal dari kata madah dalam bahasa Arab yang berarti "nasihat", tapi bisa juga
berarti "pujian") adalah sebuah genre puisi dari suku Banjar. Puisi rakyat anonim
bergenre Madihin ini cuma ada di kalangan etnis Banjar di Kalsel saja. Sehubungan dengan itu, definisi Madihin dengan sendirinya
tidak dapat dirumuskan dengan cara mengadopsinya dari khasanah di luar folklor
Banjar.
Tajuddin Noor Ganie (2006) mendefinisikan Madihin dengan
rumusan sebagai berikut : puisi rakyat anonim bertipe hiburan yang
dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar dengan bentuk fisik dan bentuk
mental tertentu sesuai dengan konvensi yang berlaku secara khusus dalam
khasanah folklor
Banjar di Kalsel.
Daftar isi
- 1 Bentuk fisik
- 2 Struktur Madihin
- 3 Status Sosial dan Sistem Mata Pencaharian Pamadihinan
- 4 Keberadaan Madihin di Luar Daerah Kalsel
- 5 Datu Madihin, Pulung Madihin, dan Aruh Madihin
- 6 Rujukan
Bentuk fisik
Masih menurut Ganie (2006), Madihin merupakan pengembangan
lebih lanjut dari pantun berkait. Setiap barisnya dibentuk dengan jumlah kata
minimal 4 buah. Jumlah baris dalam satu baitnya minimal 4 baris. Pola formulaik
persajakannya merujuk kepada pola sajak akhir vertikal a/a/a/a, a/a/b/b atau
a/b/a/b. Semua baris dalam setiap baitnya berstatus isi (tidak ada yang
berstatus sampiran sebagaimana halnya dalam pantun Banjar) dan semua baitnya
saling berkaitan secara tematis.
Madihin merupakan genre/jenis
puisi rakyat anonim berbahasa Banjar yang bertipe hiburan. Madihin dituturkan
di depan publik dengan cara dihapalkan (tidak boleh membaca teks) oleh 1 orang,
2 orang, atau 4 orang seniman Madihin (bahasa Banjar Pamadihinan). Anggraini Antemas
(dalam Majalah Warnasari Jakarta, 1981) memperkirakan tradisi
penuturan Madihin (bahasa Banjar : Bamadihinan) sudah ada sejak masuknya agama Islam ke wilayah Kerajaan Banjar pada tahun 1526.
Biasanya, kesenian madihin
dimainkan pada malam hari, namun di masa sekarang juga dapat lakukan di siang
hari sesuai permintaan. Madihin biasanya dimainkan selama 1 sampai 2 jam. Jika
dahulu madihin biasa dilakukan di tempat terbuka, seperti halaman atau lapangan
yang luas, dengan panggung ukuran 4x3 meter, sekarang madihin sering
dipertunjukkan di dalam gedung pertunjukan.
Struktur Madihin
Dalam pertunjukannya, madihin
mempunyai struktur baku bagi semua pemadihin, yaitu:
1. Pembukaan, dengan menyanyikan
sampiran sebuah pantun yang diawali dengan pukulan tarbang yang disebut pukulan
membuka. Pada sampiran ini biasanya menyangkut tema yang akan dibawakan
pemadihin.
2. Memasang tabi, yakni
membawakan syair-syair atau pantun yang isinya menghormati penonton, memberikan
pengantar, terima kasih atau permohonan maaf jika nanti ada salah kata dalam
membawakan madihin.
3. Menyampaikan isi (manguran),
yaitu menyampaikan syair atau pantun yang isinya sesuai dengan tema acara atau
permintaan panitia. Sebelum isi dari tema madihin dikupas oleh pamadihinan,
sampiran pantun di awal harus disampaikan isinya terlebih dahulu (mamacah
bunga).
4. Penutup, yakni menyampaikan
kesimpulan, sambil menghormati penonton, mohon pamit, dan ditutup dengan pantun
penutup.
Status Sosial dan Sistem Mata Pencaharian Pamadihinan
Madihin dituturkan sebagai
hiburan rakyat untuk memeriahkan malam hiburan rakyat (bahasa Banjar Bakarasmin) yang digelar dalam rangka memperintai
hari-hari besar kenegaraan, kedaerahan, keagamaan, kampanye partai politik,
khitanan, menghibur tamu agung, menyambut kelahiran anak, pasar malam,
penyuluhan, perkawinan, pesta adat, pesta panen, saprah amal, upacara tolak
bala, dan upacara adat membayar hajat (kaul, atau nazar).
Orang yang menekuni profesi
sebagai seniman penutur Madihin disebut Pamadihinan. Pamadihinan merupakan seniman penghibur
rakyat yang bekerja mencari nafkah secara mandiri, baik secara perorangan
maupun secara berkelompok.
Setidak-tidaknya ada 6 kriteria
profesional yang harus dipenuhi oleh seorang Pamadihinan, yakni : (1)
terampil dalam hal mengolah kata sesuai dengan tuntutan struktur bentuk fisik
Madihin yang sudah dibakukan secara sterotipe, (2) terampil dalam hal mengolah
tema dan amanat (bentuk mental) Madihin yang dituturkannya, (3) terampil dalam
hal olah vokal ketika menuturkan Madihin secara hapalan (tanpa teks) di depan
publik, (4) terampil dalam hal mengolah lagu ketika menuturkan Madihin, (5)
terampil dalam hal mengolah musik penggiring penuturan Madihin (menabuh gendang Madihin), dan (6) terampil dalam hal mengatur keserasian
penampilan ketika menuturkan Madihin di depan publik.
Tradisi Bamadihinan masih tetap lestari hingga sekarang ini.
Selain dipertunjukkan secara langsung di hadapan publik, Madihin juga disiarkan
melalui stasiun radio swasta yang ada di berbagai kota besar di Kalsel. Hampir
semua stasiun radio swasta menyiarkan Madihin satu kali dalam seminggu, bahkan
ada yang setiap hari. Situasinya menjadi semakin bertambah semarak saja karena
dalam satu tahun diselenggarakan beberapa kali lomba Madihin di tingkat kota,
kabupaten, dan provinsi dengan hadiah uang bernilai jutaan rupiah.
Tidak hanya di Kalsel, Madihin
juga menjadi sarana hiburan alternatif yang banyak diminati orang, terutama
sekali di pusat-pusat pemukiman etnis Banjar di luar daerah atau bahkan di luar
negeri. Namanya juga tetap Madihin. Rupa-rupanya, orang Banjar yang pergi
merantau ke luar daerah atau ke luar negeri tidak hanya membawa serta
keterampilannya dalam bercocok tanam, bertukang, berniaga, berdakwah, bersilat
lidah (berdiplomasi), berkuntaw (seni bela diri), bergulat, berloncat indah,
berenang, main catur, dan bernegoisasi (menjadi calo atau makelar), tetapi juga
membawa serta keterampilannya bamadihinan (baca berkesenian).
Para Pamadihinan yang menekuni pekerjaan ini secara
profesional dapat hidup mapan. Permintaan untuk tampil di depan publik relatif
tinggi frekwensinya dan honor yang mereka terima dari para penanggap cukup
besar, yakni antara 500 ribu sampai 1 juta rupiah. Beberapa orang di antaranya
bahkan mendapat rezeki nomplok yang cukup besar karena ada sejumlah perusahaan
kaset, VCD, dan DVD di kota Banjarmasin yang tertarik untuk menerbitkan rekaman
Madihin mereka. Hasil penjualan kaset, VCD, dan DVD tersebut ternyata sangatlah
besar.
Pada zaman dahulu kala, ketika
etnis Banjar di Kalsel masih belum begitu akrab dengan sistem ekonomi uang,
imbalan jasa bagi seorang Pamadihinan diberikan dalam bentuk natura (bahasa
Banjar : Pinduduk). Pinduduk terdiri dari sebilah jarum dan
segumpal benang, selain itu juga berupa barang-barang hasil pertanian,
perkebunan, perikanan, dan peternakan.
Keberadaan Madihin di Luar Daerah Kalsel
Madihin tidak hanya disukai oleh
para peminat domestik di daerah Kalsel saja, tetapi juga oleh para peminat yang
tinggal di berbagai kota besar di tanah air kita. Salah seorang di antaranya
adalah Pak Harto, Presiden RI di era Orde Baru ini pernah begitu terkesan
dengan pertunjukan Madihin humor yang dituturkan oleh pasangan Pamadihinan dari
kota Banjarmasin Jon Tralala dan Hendra. Saking terkesannya, beliau ketika itu
berkenan memberikan hadiah berupa ongkos naik haji plus (ONH Plus) kepada Jon
Tralala. Selain Jhon
Tralala dan Hendra, di
daerah Kalsel banyak sekali bermukim Pamadihinan terkenal, antara lain : Mat
Nyarang dan Masnah pasangan Pamadihinan yang paling senior di kota Martapura), Rasyidi dan Rohana(Tanjung), Imberan dan Timah (Amuntai), Nafiah dan Mastura Kandangan), Khair dan Nurmah (Kandangan), Utuh
Syahiban Banjarmasin), Syahrani (Banjarmasin), dan Sudirman(Banjarbaru). Madihin mewakili Kalimantan Timur pada Festival Budaya Melayu.
Datu Madihin, Pulung Madihin, dan Aruh Madihin
Pada zaman dahulu kala,
Pamadihinan termasuk profesi yang lekat dengan dunia mistik, karena para
pengemban profesinya harus melengkapi dirinya dengan tunjangan kekuatan
supranatural yang disebut Pulung. Pulung ini konon diberikan oleh seorang
tokoh gaib yang tidak kasat mata yang mereka sapa dengan sebutan hormat Datu
Madihin.
Pulung difungsikan sebagai
kekuatan supranatural yang dapat memperkuat atau mempertajam kemampuan kreatif
seorang Pamadihinan. Berkat tunjangan Pulung inilah seorang Pamadihinan akan
dapat mengembangkan bakat alam dan kemampuan intelektualitas kesenimanannya
hingga ke tingkat yang paling kreatif (mumpuni). Faktor Pulung inilah yang
membuat tidak semua orang Banjar di Kalsel dapat menekuni profesi sebagai
Pamadihinan, karena Pulung hanya diberikan oleh Datu Madihin kepada para
Pamadihinan yang secara genetika masih mempunyai hubungan darah dengannya
(hubungan nepotisme).
Datu Madihin yang menjadi sumber
asal-usul Pulung diyakini sebagai seorang tokoh mistis yang bersemayam di Alam Banjuran Purwa Sari, alam pantheon yang tidak kasat mata, tempat
tinggal para dewa kesenian rakyat dalam konsep kosmologi tradisonal etnis
Banjar di Kalsel. Datu Madihin diyakini sebagai orang pertama yang secara
geneologis menjadi cikal bakal keberadaan Madihin di kalangan etnis Banjar di
Kalsel.
Konon, Pulung harus diperbarui
setiap tahun sekali, jika tidak, tuah magisnya akan hilang tak berbekas. Proses
pembaruan Pulung dilakukan dalam sebuah ritus
adat yang disebut Aruh Madihin. Aruh Madihin dilakukan pada setiap bulan Rabiul
Awal atau Zulhijah. Menurut Saleh dkk (1978:131), Datu Madihin diundang dengan
cara membakar dupa dan memberinya sajen berupa nasi ketan, gula kelapa, 3 biji telur ayam kampung, dan minyak likat baboreh. Jika Datu Madihin berkenan memenuhi undangan,
maka Pamadihinan yang mengundangnya akan kesurupan selama beberapa saat. Pada
saat kesurupan, Pamadihinan yang bersangkutan akan menuturkan syair-syair
Madihin yang diajarkan secara gaib oleh Datu Madihin yang menyurupinya ketika
itu. Sebaliknya, jika Pamadihinan yang bersangkutan tidak kunjung kesurupan
sampai dupa yang dibakarnya habis semua, maka hal itu merupakan pertanda
mandatnya sebagai Pamadihinan telah dicabut oleh Datu Madihin. Tidak ada
pilihan bagi Pamadihinan yang bersangkutan, kecuali mundur teratur secara
sukarela dari panggung pertunjukan Madihin
Kamis, 05 September 2013
Senin, 22 Juli 2013
Senin, 13 Mei 2013
Persiapan Haul Ke-8 Abah Guru (KH. Zaini bin Abdul Ghani) Sekumpul Martapura
Posted by M. Firdaus Habibi
Posted on 12:49 AM
with 1 comment
Warga sekumpul dan para murid Guru Sekumpul telah
melakukan persiapan untuk haul Abah Guru (KH. Zaini bin Abdul Ghani)
Sekumpul Martapura yang rencananya dilaksanakan pada hari minggu, malam
senin, tanggal 12 Mei 2013 ini. Dimulai dari
gotong-royong membersikan lingkungan, membangun tenda untuk jama’ah yang
datang, menyiapkan lahan parkir kendaraan, menyiapkan tong-tong air dan
tempat wudhu.
Kemudian memasang lampu penerangan, memasang pengeras suara, menyiapkan dapur untuk memasak makanan, menyiapkan bahan-bahan yang akan disajikan. Hingga meracik bumbu, mengolah daging, memasak nasi, membuat kotak nas, hingga pada minggu paginya memasukkan nasi dan lauk pauknya kedalam kotak nasii/ nasi bungkus.
Masing-masing RT membagi tugas untuk warganya, siapa yang mengatur parkir, siapa yang menjadi keamanan, siapa yang membagi nasi kotak saat acara, dll.
Di balik puluhan ribu ja’maah yang datang nantinya di acara haul yang ke 8 abah guru sekumpul (KH. Zaini bin Abdul Ghani), tersembunyi tetes keringat warga sekumpul serta para santri yang melayani tamu dengan tulus dan ikhlas. Berikut dokumentasi yang dari grup facebook pecinta abah guru sekumpul:
Kemudian memasang lampu penerangan, memasang pengeras suara, menyiapkan dapur untuk memasak makanan, menyiapkan bahan-bahan yang akan disajikan. Hingga meracik bumbu, mengolah daging, memasak nasi, membuat kotak nas, hingga pada minggu paginya memasukkan nasi dan lauk pauknya kedalam kotak nasii/ nasi bungkus.
Masing-masing RT membagi tugas untuk warganya, siapa yang mengatur parkir, siapa yang menjadi keamanan, siapa yang membagi nasi kotak saat acara, dll.
Di balik puluhan ribu ja’maah yang datang nantinya di acara haul yang ke 8 abah guru sekumpul (KH. Zaini bin Abdul Ghani), tersembunyi tetes keringat warga sekumpul serta para santri yang melayani tamu dengan tulus dan ikhlas. Berikut dokumentasi yang dari grup facebook pecinta abah guru sekumpul:
Sabtu, 13 April 2013
Muhammad Nafis al-Banjari
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Syekh Muhammad Nafis al-Banjari (lahir di Martapura, Kesultanan Banjar, 1735 - meninggal di Kelua, 1812[1]) adalah salah seorang Ulama Banjar yang cukup dikenal sebagai tokoh sufi yang tegas dalam melawan segala bentuk penindasan.
Di samping dikenal sebagai ulama yang ahli di bidang fikih, juga ahli
dalam bidang tasawuf. Ia telah menulis sebuah kitab yang berisi tentang
ajaran-ajaran tasawuf dengan judul Ad-Durrun Nafis. Kitab ini banyak
didiskusikan dan diperdebatkan, karena materi-materinya yang dianggap
kontroversi oleh para ulama fiqih.[2]
Daftar isi |
Riwayat
Nama lengkap dari ulama ini adalah Muhammad Nafis bin Idris bin
Husein. Ia lahir sekitar tahun 1148 Hijriah atau bertepatan dengan tahun
1735
Masehi, di Martapura, sekarang ibu kota Kabupaten Banjar, Kalimantan
Selatan. Ia berasal dari keluarga bangsawan Banjar yang garis silsilah
dan keturunannya bersambung hingga Sultan Suriansyah (1527-1545 M). Sultan Suriansyah merupakan Raja Banjar pertama yang memeluk agama Islam, yang dahulu bergelar Pangeran Samudera.
Sejak kecil, Syekh Muhammad Nafis memang sudah menunjukkan bakat dan
kecerdasan yang tinggi dibanding dengan teman-teman sebayanya. Bakat dan
kecerdasan yang dimilikinya ini membuat Sultan Banjar tertarik.
Sehingga, pada akhirnya Muhammad Nafis pun dikirim ke Makkah untuk
belajar dan mendalami ilmu-ilmu agama. Salah satu dari ilmu agama yang
digelutinya, bahkan menjadikan ia populer adalah bidang
tasawuf.Sebagaimana halnya ulama Jawi (Indonesia) abad ke-17 dan ke-18
yang belajar di Makkah, Syekh Muhammad Nafis juga belajar pada para
ulama terkenal, baik yang menetap maupun yang sewaktu-waktu berziarah
dan mengajar di Haramain (Makkah dan Madinah) dalam berbagai cabang ilmu keislaman, seperti tafsir, fikih, hadits, ushuluddin (teologi), dan tasawuf.
Di antara gurunya dalam bidang ilmu tasawuf di Makkah adalah Abdullah
bin Hijazi asy-Syarqawi al-Azhari (1150-1227 H/1737-1812 M), ulama
tasawuf yang kemudian menduduki jabatan Syekh al-Islam dan Syekh
al-Azhar sejak 1207 H/1794 M.Dalam mempelajari tasawuf, Syekh Muhammad
Nafis berhasil mencapai gelar 'Syekh al-Mursyid', gelar yang menunjukkan
bahwa ia diperkenankan mengajar ilmu tasawuf dan tarekatnya kepada
orang lain. Setelah itu, ia pulang ke kampung halamannya, Martapura, pada 1210 H/1795 M.
Karya tulis
Karena seringnya melakukan dakwah ke pedalaman, ia hanya sempat
mengarang sedikit kitab. Sampai sekarang yang terlacak hanya dua buah
kitab saja yaitu:
- Kanzus Sa’adah, Yaitu kitab yang berisi tentang istilah-istilah ilmu tasawuf. Kitab ini belum pernah dicetak masih berupa manuskrip.
- Ad-Durrun Nafis, Yaitu kitab yang berisi tentang pengesaan perbuatan, nama, sifat dan zat Tuhan.
Wafat
Muhammad Nafis hidup pada periode yang sama dengan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Dan diperkirakan wafat sekitar tahun 1812 M. dan dimakamkan di Mahar Kuning, Desa Binturu, sekarang menjadi bagian desa dari Kecamatan Kelua, Kabupaten Tabalong. Dan sekarang makam tersebut menjadi salah satu objek wisata relijius di Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan.
Catatan kaki
- ^ Sebenarnya tidak ada keterangan tahun wafat yang pasti dari Muhammad Nafis al-Banjari. Namun, berdasarkan riwayat hidupnya, Muhammad Nafis hidup pada periode yang sama dengan Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari dan diperkirakan wafat sekitar tahun 1812 M
Langganan:
Postingan (Atom)